Rindu tidak Selalu Dibayar Tuntas

Mencintai itu tidak harus memiliki. Kalimat itu terdengar indah sekali, bukan? Terlebih ketika siapa pun yang belum pernah mengalami kisah yang sama dan dengan sok bijaknya menasehati orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Atau, pada orang yang saling mencintai tetapi tidak bisa bersama karena berbagai alasan.

Aku mencintai Murni. Tetapi  gadis itu memiliki cinta yang kalah besar dibanding cintaku. Ketika suatu hari di sore yang cerah aku dengan nekat mengungkapkan keinginanku untuk memilikinya pada bapaknya, Murni hanya manut ketika lelaki berkumis tebal itu menggeleng dengan tegas.

Tanpa berusaha berjuang meyakinkan bapaknya bahwa aku adalah lelaki yang layak untuk diperjuangkan. Atau, setidaknya berpura-pura merajuk dengan cara tidak makan selama tiga hari dan mengurung diri dalam kamar. Dan ia sama sekali tidak melakukan itu. Ia hanya diam menunduk di sisi kanan bapaknya duduk.

Murni, gadis semok yang terlalu penurut. Barangkali itu salah satu alasan aku menyukainya. Tetapi, sifat penurut pada bapaknya kali ini sungguh membuat aku geram. Awalnya ia sangat menggebu-gebu ketika aku mengutarakan keinginanku untuk menjumpai bapaknya. Bahkan, ia juga yang meminta aku mengenakan kemeja warna biru, karena itu warna kesukaan bapaknya. Dan aku melakukan itu. Yang tidak aku lakukan hanya melawan bapaknya bermain catur. Karena aku memang tidak paham bagaimana cara menggerakkan benteng, gajah, dan pion.

"Sajak Rambu-rambu" karya Alanwari Spasi


"Kamu belum bekerja, tapi berani-beraninya melamar anak saya," begitu alasan bapaknya menolakku. Waktu itu beliau mengenakan sarung dengan atasan kaos Putih polos (itu pun kalau masih layak dibilang putih, karena warna kuning kecokelatan terlalu mendominan). Tangannya memegang cerutu yang baru saja mengeluarkan asap tebal dari mulutnya, beberapa detik setelah muntahan kata yang tidak aku harapkan.

Padahal sudah berulang kali aku meyakinkan bahwa aku bukan pengangguran. Seperti yang bapaknya tahu, pun penilaian-penilaian kebanyakan penduduk desa lain kepadaku.

Aku penulis! Begitu aku meyakinkan. Tetapi lelaki tua itu sama sekali tidak tertarik dengan kata penulis. Baginya, juga kebanyakan penduduk desa lainnya, yang namanya profesi itu adalah orang-orang yang bekerja berangkat di pagi hari dan pulang di sore hari. Seperti pegawai kecamatan atau pegawai kelurahan itu. Atau polisi dan TNI. Mantri atau bidan. Atau tukang pos.

Dan meyakinkan bahwa aku seorang penulis pada lelaki tua berpikiran cekek itu memang tidak mudah. Maaf, aku memang harus jujur bahwa ia lelaki yang berpikiran sempit, seperti kebanyakan penduduk desa kami lainnya. Sekali pun begitu, ia memiliki anak yang luar biasa semok dan cantik. Dan aku bukan saja mencintai, tetapi bisa dikatakan sudah berada pada titik gila ingin memiliki.

"Apa buktinya kalau kau penulis?"
Ketika lelaki itu bertanya demikian, keesokan harinya aku kembali datang ke rumahnya, masih ditemani Murni, dengan membawa beberapa lembar koran yang memuat tulisanku. Aku menaruh koran-koran itu dengan bangga di atas meja, persis di samping kopi hitamnya nan kental.

Lelaki yang duduk di depanku itu menatapku sejenak sebelum meraih gelas berisi kopi dan menggeser beberapa senti dan mengambil koran itu. Murni duduk di sebelah bapaknya dengan tangan memelintir-melintir ujung baju dan menggigit bibir bagian bawahnya. Bibir tipis itu ranum sekali. Aku sudah membayangkan seandainya restu orangtua yang duduk di depanku ini sudah kudapatkan.

"Ini kamu yang menulis?" tanyanya seraya mengangkat beberapa koran.
Aku mengangguk dengan bangga seraya menunjuk nama penulis yang tertera di koran tersebut. Diluar dugaan, lelaki berkumis tebal itu mengempaskan koran tadi ke atas meja.
"Kau ingin menipuku?" tukasnya dengan geram. Ia melanjutkan, "ada banyak nama yang sama di dunia ini. Dan siapa yang bisa menjamin kalau nama penulis ini adalah namamu? Kecuali kalau di sini ada fotomu."

Setelah menunjuk-nunjuk namaku yang tertulis buram di koran, lelaki itu mengusirku.
Lagi-lagi, Murni sama sekali tidak berusaha melakukan pembelaan. Bahkan ketika aku beranjak pergi. Ia masih diam menunduk di samping bapaknya duduk.

**

Hari-hari berikutnya aku menjalani dengan dendam. Aku akan membuktikan, bukan saja pada lelaki berkumis tebal yang dipanggil bapak oleh perempuan semok yang kucintai, tetapi juga kepada semua orang di kampung ini bahwa aku bukanlah pengangguran. Seperti tuduhan mereka. Aku adalah penulis, salah satu profesi yang juga tidak kalah membanggakan dibanding polisi, pegawai kecamatan, pegawai kelurahan, mantri, bidan, dan profesi lainnya.

Hari-hari berikutnya aku menghabiskan waktu dengan menulis dan menulis. Mengirim ke koran-koran dan majalah yang bukan saja menuliskan nama penulis, tetapi juga memasang foto dari penulis tersebut. Tidak siang tidak malam. Aku tidak lagi memedulikan apakah matahari sudah terbit atau mungkin kembali terbenam. Selain untuk majalah dan koran-koran, aku juga mulai menulis novel. Barangkali, ketika buku tunggalku terbit, bapak Murni akan terperangah begitu melihat fotoku di profil penulis yang ada di halaman akhir. Di buku, ia tidak akan lagi bisa membantah bahwa itu aku. Ada foto, ada nama, ada tempat dan tanggal lahir, ada semua tentang penulis yang ditulis secara detail.

Dan ketika waktu itu datang, masihkah ia punya alasan untuk tidak menerimaku? Aku tersenyum dengan pongah.

**

Murni, gadis semok yang menjadi alasanku nyaris tidak keluar dari kamar dan hanya berteman kata-kata selama setengah tahun. Murni, gadis cantik pemilik bibir tipis nan ranum yang membuatku rela melakukan apa saja demi mendapatkannya. Segala tentang gadis itu mengental dalam ingatan. Aku tersenyum puas dalam setelan kemeja warna biru yang wangi. Kemeja yang sama dengan yang aku kenakan dulu. Beberapa koran dan majalah yang memuat tulisan yang ada fotoku, pun buku yang kuterbitkan secara indie, tergenggam dengan erat.

Setelah enam bulan, ini adalah kali pertama aku kembali menjejakan kaki ke rumah Murni. Dan dalam kurun waktu itu, bukan saja lelah dengan pembuktian yang aku lakukan, tetapi juga lelah menanggung rindu pada gadis impian. Tetapi tidak apa. Melihat hari ini, melihat usaha keras yang aku lakukan akhir-akhir ini, aku harus membenarkan apa yang dikatakan Eka Kurniawan. Seperti dendam, rindu juga harus dibayar dengan tuntas.
"Murni sudah dibawa suaminya ke kota."
"Suami?" Aku menatap lelaki yang berdiri di depan pintu itu. Seharusnya, bias wajahku sudah cukup menjelaskan bahwa aku tidak percaya pada apa yang ia katakan. Sebaliknya, bukannya menjelaskan, lelaki itu justru sibuk memperbaiki sarungnya.

"Iya, suaminya," jawabnya dengan tenang.

Aku menelan ludah dengan getir. Seperti dendam, rindu ini tak akan pernah terbayar dengan tuntas.

Dan dari orang-oranglah, akhirnya aku tahu bahwa beberapa hari setelah aku melamar Murni, bapaknya sibuk mencarikan jodoh anak gadisnya itu dengan lelaki lain.

Referensi :
[1]. Dikutip dari karya Zukril Yu.
[2]. Pernah dipublikasikan di Pikiran Rakyat Minggu 7 Mei 2017
Previous
Next Post »