Tukang Sapu di Era Juru Adil

Sebagai penjabat RT adalah lumrah bila rumahku sering kedatangan warga kompleks. Demikian halnya ketika di suatu sore ada seorang warga pendatang baru datang ke rumah. Ia mengadukan ulah bapak tua yang belum dikenalnya. Ia merasa setiap hari bapak tua itu terus mengawasinya. Kemana pun kakinya melangkah, sorot mata bapak tua itu laksana bayangan yang setia mengikutinya.

Ia juga mengaku bingung dengan laku bapak tua itu. Acap kali mobilnya melintas di jalanan kompleks, bapak tua itu kerap turun ke jalan. Bapak tua itu kemudian menyapu jalan yang dilalui mobilnya. Seperti orang tak waras, bapak tua itu masih pula melakukan hal yang sama sekalipun hari bersimbah hujan lebat.

"Yang mengesalkan, saat saya berjalan kaki, dia malah mengekor di belakang sambil tetap menyapu jalan. Dia seolah tak rela jalanan kompleks kotor oleh alas kaki saya."
"Apa Anda tidak menegurnya?" "Berulang kali saya menegurnya, tapi setiap ditegur dia malah bersujud di hadapan kaki saya. Entah apa maksudnya, sepertinya dia gemar meledek orang," keluh warga baru itu.

Bapak tua yang dikeluhkan warga baru itu bernama Mang Idi. Ia tukang sapu di kompleks kami. Orangnya memang agak eksentrik. Jangan kaget bila melihat Mang Idi di malam buta masih sibuk menyapu jalanan kompleks. Atau, tak peduli sebersih apa pun jalanan kompleks, Mang Idi akan tetap menyapu. Buat Mang Idi menyapu bukan hanya sekadar tugas dan kewajiban. Menyapu sebagaimana halnya menghela nafas, terlampau berbahaya untuk ia tinggalkan. Meski begitu Mang Idi belum pernah terdengar iseng mengusik kenyamanan warga kompleks, apalagi menyapu jalan sambil berhujan-hujan. Karenanya, isi kepalaku langsung cengung saat mendengar pengaduan warga baru itu.

"Evilsion" karya Rizky Zakaria
Keeksentrikan lainnya dari Mang Idi, ia gemar sekali berbicara di depan umum. Di mana pun tercipta kerumunan orang, maka di sanalah Mang Idi bertingkah layaknya seorang juru kampanye. Kepada orang-orang, Mang Idi getol mengumandangkan kabar yang menurutnya merapakan kabar gembira. Katanya, tak lama lagi Juru Adil akan datang ke negeri ini.

"Di era Jura Adil nanti, dunia usaha akan berjalan dalam koridor keadilan. Pelaku usaha kecil akan menempati koridor tersendiri yang terlindung dari rongrongan pemodal besar. Bapak dan Ibu semua bisa tenang berusaha tanpa perlu khawatir kalah bersaing." Pidato Mang Idi ketika berada di hadapan puluhan pedagang kelontong yang tengah berdemo di depan kantor walikota. Mereka memprotes keputusan walikota untuk mengizinkan pendirian sebuah perkulakan besar. 

"Juru Adil sebenarnya sangat gerah melihat ketidakadilan yang melanda negeri ini. Sayang, beliau belum diperkenankan untuk muncul. Bila tiba saatnya beliau memimpin negeri ini, percayalah, Juru Adil akan selalu memanusiakan manusia. Tak ada ceritanya beliau memperlakukan Bapak dan Ibu semua layaknya hewan yang bisa diusir begitu saja." Khotbah Mang Idi kala memberi dukungan kepada para korban gusuran. Mereka adalah penghuni gubuk-gubuk liar di pinggiran kali yang tergusur oleh instruksi wali kota.

Siapakah Juru Adil itu? Mang Idi menggambarkannya sebagai sosok pembela rakyat. Seorang kesatria yang dengan pedang keadilannya akan membabat habis segenap bentuk kezaliman. kesewenang-wenangan, ataupun kebobrokan moral para penguasa lalim. Juru Adil adalah manusia pilihan. Manusia utusan Surgaloka penegak pilar-pilar keadilan.

Dalam satu kesempatan aku sempat mengobrol berdua dengannya. Mang Idi membuat pengakuan yang menggelikanku. Betapa tidak, ruang dan waktu ternyata tak mampu menjauhkan seorang Mang Idi dari sapu. Menurut pengakuannya, Mang Idi sekarang merupakan penjelmaan kembali dari Ki Kaung, tukang sapu yang hidup belasan abad lalu di Negeri Taruma.

Sewaktu aku bertanya di mana letak Negeri Taruma, Mang Idi kelabakan menjelaskannya. Ia lebih suka menerangkan keadaan Negeri Taruma di masa Ki Kaung hidup. Katanya, saat itu rakyat Negeri Taruma sungguh bernasib kelam. Dalam naungan tirani, rakyat Negeri Taruma terpaksa hidup bergandeng derita. Rakyat Negeri Taruma hanya menjadi budak-budak pemuas nafsu keserakahan tirani. Hukum memang berjalan, namun cuma berperan sebagai sarana tirani untuk menindas rakyat. Di Negeri Taruma keadilan terlampau jauh mengawang tinggi, sementara kemiskinan membumi sekali.

Di tengah-tengah penderitaan rakyat Negeri Taruma, sosok Juru Adil yang selama ini sering Mang Idi gembar-gemborkan akhirnya muncul ke permukaan. Kiranya Juru Adil merupakan sang pemberani yang mengajak rakyat untuk melawan penindasan tirani. Berkebalikan dengan rakyat Negeri Taruma yang menyanjung Juru Adil bak seorang pahlawan, tirani justru menganggapnya tak lebih dari begal kurang ajar. Aksinya merampas upeti, membobol gudang-gudang harta milik istana, atau menculik para penjabat korup telah sangat mengolok-olok kewibawaan tirani. Di lain pihak, rakyat Negeri Taruma akan bersorak manakala pasukan berkuda Jura Adil sukses menjalankan misi begalnya. Jura Adil selalu mempersembahkan seluruh harta jarahannya secara adil kepada rakyat. Dalam prinsip Jura Adil, sesungguhnya rakyatlah yang paling berhak menikmati kekayaan negeri. Sementara penguasa negeri hanya berperan sebagai pelayan keinginan rakyat. Sebuah ideologi yang secara gamblang meneror kekuasaan tirani.
"Lantas, Ki Kaung itu sendiri?"
"Ki Kaung adalah pelindung utama Jura Adil."
"Si pembela rakyat itu berlindung pada seorang tukang sapu?"
Mang Idi mengangguk.
"Seperti Mang Idi sekarang, Ki Kaung memang bertugas menyapu jalan yang dilintasi pasukan berkuda Juru Adil. Sekalipun tukang sapu, namun sapuan Ki Kaung mampu menghapus jejak-jejak yang ditinggalkan kuda-kuda rombongan Jura Adil. Berkat andil Ki Kaung, selama bertahun-tahun Jura Adil tak ubahnya siluman yang sulit diendus keberadaannya."
"Rupanya Mang Idi di kehidupan lampau adalah seorang pahlawan juga."
Mang Idi menggeleng.

Aku kurang faham apa maksud dari gelengan kepala Mang Idi. Semestinya Mang Idi berbangga hati karena memiliki andil besar atas perjuangan Jura Adil. Sebelum sempat kutanyakan, Mang Idi keburu melanjutkan ceritanya. Konon, ada hari yang selalu abadi dalam ingatan Mang Idi hingga sekarang ini. Di hari itu hujan tiada henti mengenangi jalan yang biasa dilewati pasukan berkuda Juru Adil. Ki Kaung yang tengah berjaga di posnya telah mencermati, kelihatannya genangan air akan dapat menggantikan tugasnya sebagai tukang sapu. Ki Kaung yakin, genangan air akan mampu menghapus penampakan jejak di jalan. Ki Kaung lantas berpikir, setelah bertahun-tahun mengabdi tanpa cela pada Juru Adil, inilah waktu yang tepat baginya untuk berdamai dengan malas. Ki Kaung kemudian memilih lelap di pos jaganya.

Sial bagi Ki Kaung. Saat dirinya mirip beruang tidur, sekonyong-konyong hujan di hari itu berhenti. Parahnya lagi, matahari seketika muncul bersama sinar yang garang sekali. Akibatnya jalanan keburu kering dari genangan air saat pasukan berkuda Juru Adil lewat. Sewaktu bangun Ki Kaung terperanjat oleh kemunculan deretan panjang bekas-bekas tapak kaki kuda di jalan."
"Tinggal disapu, apa susahnya?"
"Ki Kaung terlambat menyapu. Pasukan tirani dalam jumlah besar keburu datang. Jejak-jejak itu lalu memandu mereka menemukan markas persembunyian Juru Adil untuk kemudian mengepungnya."
"Juru Adil menyerah?"
"Juru Adil pantang menyerah. Beliau lebih memilih gugur secara kesatria dibandingkan harus mengangkat tangan." 
"Ki Kaung patut dipersalahkan." 
"Benar sekali. Bayangkan, utusan Surgaloka tewas hanya gara-gara Ki Kaung tergiur malas! Surgaloka murka. Setelah mangkat, jiwa Ki Kaung tak pernah beroleh tempat di Surgaloka," ujar Mang Idi lirih. Ada raut penyesalan mendalam di rona mukanya.

Selanjutnya, dengan suara sedikit lebih lantang, Mang Idi menyatakan kalau ia telah kembali menjadi tukang sapu di era Juru Adil. Menurutnya, setelah belasan abad jiwanya bergentayangan tak tentu arah, Surgaloka berkenan memberi Ki Kaung kesempatan kedua. Ki Kaung bersumpah, dirinya tidak akan mengulang kedunguan yang sama ketika Juru Adil terlahir lagi di dunia.

"Dari mana Mang Idi bisa tahu jika Juru Adil akan kembali muncul?" 
"Sehari sebelum gugur, Juru Adil sempat berujar pada Ki Kaung. Keadilan dan tirani itu seperti malam dan siang. Keduanya akan datang silih berganti. Memang ada kalanya tirani berdiri terlampau kokoh di atas keadilan. Dan di saat seperti itulah Surgaloka akan kembali mengutus Juru Adil ke dunia." Penuturan Mang Idi ketika menutup obrolannya denganku di kesempatan itu.

Pesan yang kutangkap dari pertemuanku dengan Mang Idi adalah, bahwa sekarang ini tirani tengah angkuh-angkuhnya mengencingi keadilan. Walau begitu aku tetap berpendapat bila Juru Adil cuma semata-mata produk khayalan orang-orang pinggiran, semisal Mang Idi. Akan tetapi, semua berubah usai kedatangan warga baru itu ke rumah. Benakku mendadak sesak oleh satu tanda tanya besar. Mungkinkah si penegak keadilan sebenarnya memang telah menampakkan diri? Entahlah, aku sendiri ragu. Hanya saja di pagi ini beberapa ekor anjing pelacak terlihat sibuk mondar-mondir di depan gerbang kompleks.

Hidung anjing-anjing piaraan polisi itu tak henti mengendus. Sepertinya anjing-anjing itu sedang kebingungan akibat bau buruannya tiba-tiba pudar setiba di gerbang kompleks. Kemarin malam memang santer terdengar kabar kalau rumah wali kota kebobolan maling.***

Referensi :
- Dikutip dari karya Yus I.S.
- Telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat Minggu, 30 April 2017
Previous
Next Post »